BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian HAM
Adapun
pengertian HAM menurut para tokoh dan dokumen HAM yaitu :
- Jhon Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Ia adalah hak dasar setiap
manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan yang maha Esa.
- Koentjoro Poerbapranoto (1976)
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Atinya, hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan.
- UU no. 39 tahun 1999 (tentang Hak Asasi Manusia)
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.[1]
Menurut Teaching Human Rights yang
diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak
yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia. Misalnya, hak untuk hidup.[2]
Berdasarkan dari beberapa pengertian
diatas, dapat disimpulkan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan sebagai suatu anugrah Allah yang harus dihormati,
dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.[3]
- Ciri –Ciri Pokok HAM
Berdasarkan beberapa rumusan HAM
diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri pokok HAM yaitu:
- HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
- HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, atau asal usul sosial dan bangsa.
- HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
- Perkembangan Pemikiran HAM
- Lahirnya perjanjian Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa
berpendapat bahwa lahirnya HAM dikawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat
pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang
menciptakan hukum, tatapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang
dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta
pertanggungjawabanya dimuka hukum. Magna Charta telah menghilangkan hak
absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus
diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahnya. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh
lahirnya Bill of Rights di Inggris
pada tahun 1689. Pada masa itu timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa
manusia sama dimuka hukum (equality
before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan
negara demokrasi. Bill of Rights
melahirkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resiko yang
dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.
- Munculnya The American Declaration of Independence
The
American Declaration of Independence ini lahir dari paham Rousseau dan Montesquieu.
Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak didalam perut ibunya,
sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
- Lahirnya The French Declaration (Deklarasi Prancis)
Disini dinyatakan dimana ketentuan
tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan
yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan pejabat yang sah. Dalam
kaitan itu berlaku prinsip presumption of
innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh,
berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu
dipertegas oleh prinsip freedom of
expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang
dikehendaki), the right of property (perlindungan
hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam french declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya
demokrasi maupun negara hukum.
Berdasarkan rumusan diatas, ada
empat hak yaitu hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak
kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai
tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari
ketakutan yang meliputi usaha pengurangan persenjataan sehingga tidak satupun
bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan
terhadap negara lain.
Selanjutnya pada tahun 1944 diadakan
Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia yang kemudian menghasilkan
Deklarasi Philadelphia. Isi dari konferensi tersebut tentang kebutuhan penting
untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan
seluruh manusia apapun ras, kepercayaan atau jenis kelaminnya, memiliki hak
untuk mengejar perkembangan material dan
spiritual dengan bebas dan bermartabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang
sama.
Pemikiran HAM terus berlangsung
dalam rangka mencari rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya.
Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada empat generasi:
- Generasi pertama
Berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan
politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik dan
disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia kedua, dan adanya keinginan
negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru
- Generasi dua
Pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua
menunjukkan peluasan pengertian konsep dan cakupan HAM. Pada masa generasi
kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan
dengan hak sosial budayanya, hak ekonomi dan hak politik.
- Generasi ketiga
Generasi ketiga ini lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua.
Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya,
politik dan hukum. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga
juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi
dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya
terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat
lainnya dilanggar.
- Generasi keempat
Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM
generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang
sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi
dan menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat.
Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan
rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan kelompok elit. Pemikiran
HAM generasi keempat dipelopori oleh nagara-negara dikawasan Asia yang pada
tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia
People and Goferment. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi
ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak
kepada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Deklarasi tersebut juga
secara positif mengukuhkan keharusan dari negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya.[4]
Beberapa butir HAM yang termuat dalam deklarasi HAM Asia ini mencakup:
- Pembangunan berdikari (self development)
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan rakyat dan
bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan sumber-sumber daya
sosial-ekonomi kepada rakyat.
- Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan
lain sebagainya. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri
dari budaya kekerasan (culture of
violence), dengan segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya
damai (culture of peace) menjadi
tugas semua pihak baik rakyat, negara, maupun dunia internasional.
- Partisipasi rakyat
Partisipasi rakyat ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat
mendesak untuk terus diperjuangkan, baik dalam dunia politik maupun dalam
persoalan publik lainya.
- Hak-hak budaya
Setiap budaya harus dihormati dan tidak boleh dilecehkan. Dibeberapa masyarakat
menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya. Begitu juga adanya upaya dan
kebijakan penyeragaman budaya oleh negara, ini merupakan bentuk pelanggaran
terhadap hak asasi berbudaya, karena mengarah kepenghapusan kemajemukan budaya
(multikulturalisme) yang menjadi
identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.
- Hak keadilan sosial
Keadilan sosial tidak hanya diukur dengan peningkatan pendapatan
perkapita, tetapi juga dengan merubah tatanan sosial yang tidak adil dengan
tatanan sosial yang berkeadilan.
- Perkembangan HAM di Indonesia
Wacana
HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia
dapat dibagi kedalam dua periode:[5]
- Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM dalam periode sebelum
kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan
nasional seperti Budi Utomo (1908),Sarekat Islam (1911) dan lain-lain. Lahirnya
organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahan dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.
Dalam sejarah pemikiran HAM di
Indonesia, Budi Utomo merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang
menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui
petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lemat tulisan
disurat kabar. Inti dari perjuangan Budi
Utomo ini adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Searah dengan wacana HAM
yang diiperjuangkan Budi Utomo, para tokoh perhimpunan Indonesia seperti
Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Subarjo, A. Maramis lebih menekankan
perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasib sendiri masyarakat terjajah.
Sedangkan kalangan tokoh pergerakan
sarekat islam, Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim, menyerukan pentingnya
usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas deri penindasan.
Berbeda dengan pemikiran HAM dikalangan tokoh nasionalis sekunder, para tokoh
SI mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam islam.
- Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
Perbedaan tentang HAM terus
berlanjut sampai periode paska kemerdekaan Indonesia : 1945-1950, 1950-1959,
1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM
Indonesia kontemporer (paska 1998).
- Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada
periode awal paska kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka (self determination), hak-hak kebebasan
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang diperiode ini,
wacana HAM dapat dirincikan pada :
- Bidang sipil dan politik, meliputi :
1) UUD
1945 (pembukaan, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, Pasal 30, penjelasan
pasal 24 dan 25)
2) Maklumat
pemerintah 1 November 1945
3) Maklumat
pemerintah 3 November 1945
4) Maklumat
pemerintah 14 November 1945
5) KRIS
khususnyaa bab v pasal 7 sampai 33
6) KUHP
pasal 99
- Bidang ekonomi, sosial dan budaya, melalui :
1) UUD
1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan pasal 31 dan 32)
2) KRIS
pasal 36 sampai 40
- Periode 1950-1959
Menurut catatan Bagir
Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima
indikator HAM :
1) Munculnya
partai-partai politik dengan beragam ideologi
2) Adanya
kebebasan pers
3) Pelaksanaan
pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis
4) Kontrol
parlemen atas eksekutif
Perdebatan HAM melalui
mimbar parlemen (konstituante) berlangsung secara bebas dan demokratis.
Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang
substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD dan menjadi bab
tersendiri. Bahkan diusulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.
Tercatat pada periode
ini Indonesia merativikasi dua konveksi internasional HAM yaitu :
1) Empat
konveksi geneva 1949 dengan UU No. 59 tahun 1958 yang mencakup perlindungan hak
bagi korban perang, tawanan perang dan perlindungan sipil diwaktu perang.
2) Konveksi
tentang hak politik perempuan dengan UU No. 68 tahun 1958 yang mencakup hak
perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi serta hak
perempuan untuk menempati jembatan publik.
- Periode 1959-1966
Periode ini merupakan
masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin
yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin tidak lain
sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem demokrasi
parlementer yang dinilainya sebagai produk barat. Menurut Soekarno, demokrasi
parlementer tidak sesuai karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki
tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Melalui sistem demokrasi
terpimpin kekuasaan terpusat ditangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol
oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden.Kekuasaan presiden
Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai presiden RI seumur hidup.
Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah
pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat
diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter.
Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan presiden sukarno
telah menjadikan lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berafiliasi kepada PKI
sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui pemerintahan. Sebaliknya, lembaga
selain lekra dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi. PKI sebagai
komponen politik yang manganut prinsip dan ajaran sosialisme sekuler mendapat
dukungan politik dari presiden Soekarno. Selain itu Presiden Soekarno tidak
bisa menafikan keberadaan PKI sebagai partai politik yang memiliki masa yang
besar. Sekalipun melanggar prnsip-prinsip HAM, Presiden Soekarno terpaksa harus
memperhitungkan keberadaan PKI.
Kedekatan presiden
soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik yang ditandai oleh ketidaksukaan
kelompok militer (TNI) dan elemen-elemen politik dari kalangan nasionalis dan
kelompok-kelompok agama, khususnya islam. Akhir dari kediktatoran pemerintahan
presiden Soekarno adalah berakhirnya pemerintahan melalui kudeta berdarah yang
dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gerakan ini merupakan klimaks
dari perseteruan politik antara PKI dengan TNI, khususnya angkatan darat. Akhir
pemerintahan Presiden Soekarno sekaligus sebegai awal naiknya era pemerintahan
Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde Baru. Ia menggantikan
Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
- Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya
Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Berbagai
seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun kenyataannya, Orde Baru telah
menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia sepanjang sejarah
Indonesia modern. Pada tahun 1967 Orde Baru merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Gagasan ini ditindaklanjuti dengan seminar Nasional Hukum II 1968 yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial
review) dilakukan guna melindungi HAM. Hak uji material tersebut dilakukan
dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia. Dalam rangka pelaksanaan TAP
MPRS No. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah merumuskan Piagam
tentang Hak-hak Asasi Manusia dan hak-hak serta Kewajiban Warganegara.
Janji-janji orde baru
tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal
1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan mandat konstitusional dari sidang
MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan
yang anti HAM yang dianggapnya sebagai produk barat. Diantara butir penolakan
pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
- HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya yang tercermin dalam pancasila.
- Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM.
- Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Sepanjang pemerintahan
Presiden Suharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan
yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan
bahkan anti pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan
dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah orba tidak segan-segan menumpas segala
bentuk aspirasi masyarakat .
Ditengah kuatnya peran
negara orde baru, suara yang memperjuangkan penegakan HAM dilakukan kalangan
organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat. Upaya penegakan HAM
oleh kelompok-kelompok non-pemerintah membuahkan hasil yang mengembirakan
diawal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dikalangan masyarakat dapat merubah
pendirian pemerintah orde baru untuk
bersikap akomodatif terhadap tuntutan HAM yang disuarakan masyarakat.
Satu diantara sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan
pemerintah terhadap pembentukan komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
melalui keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Kehadiran
Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi
pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Sikap akomodatif
pemerintah Orba ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratifikasi tiga
konvensi HAM: konvensi tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap
perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984, konvensi anti-apartheid dalam olah raga
melaui UU No. 48 tahun 1993, dan konvensi hak anak melalui keppres No. 36 tahun
1990. Namun demikian, sikap akomodatif pemerintah orba terhadap tuntutan HAM
masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara.
Komitmen Orba terhadap pelaksanaan secara murni dan konsekuen masih jauh dari
harapan masyarakat. Masa pemerintahan Orba masih sarat dengan pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh aparat negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa
periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi
kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok revormis dan mahasiswa pada tahun
1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan
reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual
Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Orba.
- Periode Paska Orde Baru
Tahun 1998 adalah era
paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Berakhirnya kekuasaan Orba
sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era
baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung dibawah rezim
otoriter orde baru. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh BJ.
Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil Presiden RI. Tuntutan para tokoh
revormasi dan mahasiswa akan pergantian kekuasaan otoriter Orba dengan
kekuasaan yang berlangsung secara demokratis dan tuntutan penegakan HAM menjadi
era ini dikenal dengan sebutan Era Revormasi.
Pada masa pemerintahan
Habibi, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah era revormasi. Keseriusan
pemerintah Presiden BJ. Habibi dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan
dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi
Nasional HAM, pada Agustus 1998. Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM
juga ditunjukkan dengan pengesahan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, beberapa
bentuk HAM dalam UU ini yaitu: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan,
hak wanita, dan hak anak.
Adapun Hak Asasi Manusia
yang diatur dalam perubahan UUD 1945 terdapat dalam Bab X A diantaranya sebagai
berikut:
- Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 28 A)
- Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28 ayat 1)
- Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 B ayat 2)
- Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
- Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (pasal 28 C ayat 1)
- Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan pelakuan yang sama didepan hukum (pasal 28 D ayat 1)
- Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)[6]
- Islam dan HAM
Islam adalah agama universal yang
mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Ajaran Islam
mengandung unsur-unsur keyakinan (akidah), ritual (ibadah), dan pergaulan
sosial (mu’amalat). Dimensi akidah memuat ajaran tentang keimanan, dimensi
ibadah memuat ajaran tentang pengabdian manusia terhadap Allah, sedangkan
dimensi mu’amalat memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia
dan dengan alam sekitar. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi oleh
ketentuan-ketentuan yang disebut dengan syariat (fikih), dalam konteks inilah
terdapat ajaran tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai agama kemanusiaan islam
meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan oleh
Al-qur’an sebagai mahkluk yang sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari pandangan
kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan
oleh setiap pemeluknya. Penghormatan HAM dan bersikap adil terhadap manusia
tanpa pandang bulu adalah esensi dari ajaran Islam. Dalam Islam, sebagaimana
dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan Allah
SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan
atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal
dan abadi.
Adanya penekanan relasi hak individu
dengan nilai sosial dalam Islam menunjukkan bahwa Islam mengajarkan bahwa
tuntutan hak tetap harus dibarengi dengan pelaksanaan kewajiban dalam rangka
melindungi hak orang lain. Menurut Islam, hak dan kewajiban adalah dua sisi
mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, sekalipun
Islam melindungi hak seseorang atas kepemilikan properti dan kekayaan, agama
ini juga memerintahkan untuk mengeluarkan zakat yang salah satu tujuannya untuk
melindungi hak hidup orang miskin. Bahkan didalam Islam disebutkan bahwa dalam
harta yang dimiliki oleh seseorang terdapat hak orang lain.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia
didasarkan pada pendekatan teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah
sebagai pusat dari kehidupan melalui ketentuan syari’atnya. Dengan demikian,
konsep Islam tantang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Sebagai sebuah konsep
pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide persamaan dan
persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan
semua makhluk. Pandangan ini ditegaskan oleh Harun Nasution dan Bachtiar
Effendi sebagai ide peri kemakhlukan dalam Islam. Ide ini mengandung makna bahwa
manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama mahkluk termasuk juga
binatang dan alam sekitar.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
- Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
- Tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban harus berjalan secara seimbang. Hak diperoleh bila kewajiban terkait telah terlaksanakan.
- Perkembangan HAM dalam sejarahnya tergantung dinamika model dan sistem pemerintahan yang ada. Dalam model pemerintahan yang otoriter dan represif, perkembangan HAM relatif mandeg seiring ditutupnya atau dibatasinya peran kebebasan, sedangkan model pemerintahan yang demokratis relatif mendukungupaya penegakan HAM karena terbukanya ruang kebebasan dan partisipasi politik.
- Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupan melalui ketentuan syari’atnya. Dengan demikian, konsep Islam tantang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Sebagai sebuah konsep pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi.
2003. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Azra, Azyumardi,
dan Hidayat, Komaruddin.2000. Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Budiyanto. 2007.
Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Erlangga.
Zubaidi, Achmad
dan Kaelan. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
[1] Budiyanto,
Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta:
Erlangga, 2007), hlm. 73.
[2]
Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Demokrasi
dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm.
252.
[3]
Azyumardi Azra, Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 201.
[4] Azyumardi
Azra, Komaruddin Hidayat, Demokrasi dan
Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 256.
[5] Azyumardi
Azra, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 209.
[6] Achmad
Zubaidi, Kaelan, Pendidikan
Kewarganegaraan (Yogyakarta: Paradigma, 2007), hlm. 104.