Sabtu, 16 November 2013

MAKALAH TENTANG HAK ASASI MANUSIA



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian HAM
            Adapun pengertian HAM menurut para tokoh dan dokumen HAM yaitu :
  1. Jhon Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Ia adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan yang maha Esa.
  1. Koentjoro Poerbapranoto (1976)
Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Atinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan.
  1. UU no. 39 tahun 1999 (tentang Hak Asasi Manusia)
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1]
            Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Misalnya, hak untuk hidup.[2]
            Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan sebagai suatu anugrah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.[3]
  1. Ciri –Ciri Pokok HAM
            Berdasarkan beberapa rumusan HAM diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri pokok HAM yaitu:
  1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
  2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, atau asal usul sosial dan bangsa.
  3. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
  1. Perkembangan Pemikiran HAM
  1. Lahirnya perjanjian Magna Charta
            Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dikawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tatapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabanya dimuka hukum. Magna Charta telah menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktikkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahnya. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia sama dimuka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.

  1. Munculnya The American Declaration of Independence
            The American Declaration of Independence ini lahir dari paham Rousseau dan Montesquieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak didalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
  1. Lahirnya The French Declaration (Deklarasi Prancis)
            Disini dinyatakan dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan pejabat yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam french declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum.
            Berdasarkan rumusan diatas, ada empat hak yaitu hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan yang meliputi usaha pengurangan persenjataan sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain.
            Selanjutnya pada tahun 1944 diadakan Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia yang kemudian menghasilkan Deklarasi Philadelphia. Isi dari konferensi tersebut tentang kebutuhan penting untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan atau jenis kelaminnya, memiliki hak untuk mengejar  perkembangan material dan spiritual dengan bebas dan bermartabat, keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama.
            Pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencari rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada empat generasi:
  1. Generasi pertama
Berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik dan disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia kedua, dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru
  1. Generasi dua
Pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukkan peluasan pengertian konsep dan cakupan HAM. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial budayanya, hak ekonomi dan hak politik.
  1. Generasi ketiga
Generasi ketiga ini lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya dilanggar.
  1. Generasi keempat
Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan kelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh nagara-negara dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and Goferment. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Deklarasi tersebut juga secara positif mengukuhkan keharusan dari negara untuk memenuhi hak  asasi rakyatnya.[4]
Beberapa butir HAM yang termuat dalam deklarasi HAM Asia ini mencakup:
  1. Pembangunan berdikari (self development)
Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan sumber-sumber daya sosial-ekonomi kepada rakyat.
  1. Perdamaian
Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan lain sebagainya. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence), dengan segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya damai (culture of peace) menjadi tugas semua pihak baik rakyat, negara, maupun dunia internasional.
  1. Partisipasi rakyat
Partisipasi rakyat ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat mendesak untuk terus diperjuangkan, baik dalam dunia politik maupun dalam persoalan publik lainya.
  1. Hak-hak budaya
Setiap budaya harus dihormati dan tidak boleh dilecehkan. Dibeberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya. Begitu juga adanya upaya dan kebijakan penyeragaman budaya oleh negara, ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya, karena mengarah kepenghapusan kemajemukan budaya (multikulturalisme) yang menjadi identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.
  1. Hak keadilan sosial
Keadilan sosial tidak hanya diukur dengan peningkatan pendapatan perkapita, tetapi juga dengan merubah tatanan sosial yang tidak adil dengan tatanan sosial yang berkeadilan.
  1. Perkembangan HAM di Indonesia
            Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode:[5]
  1. Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
            Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo (1908),Sarekat Islam (1911) dan lain-lain. Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial,  penjajahan dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.
            Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Budi Utomo merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lemat tulisan disurat kabar. Inti dari perjuangan  Budi Utomo ini adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Searah dengan wacana HAM yang diiperjuangkan Budi Utomo, para tokoh perhimpunan Indonesia seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Subarjo, A. Maramis lebih menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasib sendiri masyarakat terjajah.
            Sedangkan kalangan tokoh pergerakan sarekat islam, Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim, menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas deri penindasan. Berbeda dengan pemikiran HAM dikalangan tokoh nasionalis sekunder, para tokoh SI mendasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam islam.
  1. Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
            Perbedaan tentang HAM terus berlanjut sampai periode paska kemerdekaan Indonesia : 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM  Indonesia kontemporer (paska 1998).
  1. Periode 1945-1950
            Pemikiran HAM pada periode awal paska kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka (self determination), hak-hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang diperiode ini, wacana HAM dapat dirincikan pada :
  1. Bidang sipil dan politik, meliputi :
1)      UUD 1945 (pembukaan, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, Pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25)
2)      Maklumat pemerintah 1 November 1945
3)      Maklumat pemerintah 3 November 1945
4)      Maklumat pemerintah 14 November 1945
5)      KRIS khususnyaa bab v pasal 7 sampai 33
6)      KUHP pasal 99
  1. Bidang ekonomi, sosial dan budaya, melalui :
1)      UUD 1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan pasal 31 dan 32)
2)      KRIS pasal 36 sampai 40
  1. Periode 1950-1959
            Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM :
1)      Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi
2)      Adanya kebebasan pers
3)      Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis
4)      Kontrol parlemen atas eksekutif
            Perdebatan HAM melalui mimbar parlemen (konstituante) berlangsung secara bebas dan demokratis. Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD dan menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.
            Tercatat pada periode ini Indonesia merativikasi dua konveksi internasional HAM yaitu :
1)      Empat konveksi geneva 1949 dengan UU No. 59 tahun 1958 yang mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang dan perlindungan sipil diwaktu perang.
2)      Konveksi tentang hak politik perempuan dengan UU No. 68 tahun 1958 yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi serta hak perempuan untuk menempati jembatan publik.
  1. Periode 1959-1966
            Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer yang dinilainya sebagai produk barat. Menurut Soekarno, demokrasi parlementer tidak sesuai karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
            Melalui sistem demokrasi terpimpin kekuasaan terpusat ditangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden.Kekuasaan presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan presiden sukarno telah menjadikan lembaga kebudayaan rakyat (lekra) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui pemerintahan. Sebaliknya, lembaga selain lekra dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi. PKI sebagai komponen politik yang manganut prinsip dan ajaran sosialisme sekuler mendapat dukungan politik dari presiden Soekarno. Selain itu Presiden Soekarno tidak bisa menafikan keberadaan PKI sebagai partai politik yang memiliki masa yang besar. Sekalipun melanggar prnsip-prinsip HAM, Presiden Soekarno terpaksa harus memperhitungkan keberadaan PKI.
            Kedekatan presiden soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik yang ditandai oleh ketidaksukaan kelompok militer (TNI) dan elemen-elemen politik dari kalangan nasionalis dan kelompok-kelompok agama, khususnya islam. Akhir dari kediktatoran pemerintahan presiden Soekarno adalah berakhirnya pemerintahan melalui kudeta berdarah yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gerakan ini merupakan klimaks dari perseteruan politik antara PKI dengan TNI, khususnya angkatan darat. Akhir pemerintahan Presiden Soekarno sekaligus sebegai awal naiknya era pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde Baru. Ia menggantikan Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
  1. Periode 1966-1998
            Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia sepanjang sejarah Indonesia modern. Pada tahun 1967 Orde Baru merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Gagasan ini ditindaklanjuti dengan seminar Nasional Hukum II 1968 yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Hak uji material tersebut dilakukan dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia. Dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah merumuskan Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan hak-hak serta Kewajiban Warganegara.
            Janji-janji orde baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM yang dianggapnya sebagai produk barat. Diantara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
  1. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya yang tercermin dalam pancasila.
  2. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM.
  3. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
            Sepanjang pemerintahan Presiden Suharto tidak dikenal istilah partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah orba tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat .
            Ditengah kuatnya peran negara orde baru, suara yang memperjuangkan penegakan HAM dilakukan kalangan organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat. Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non-pemerintah membuahkan hasil yang mengembirakan diawal 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dikalangan masyarakat dapat merubah pendirian pemerintah orde baru untuk  bersikap akomodatif terhadap tuntutan HAM yang disuarakan masyarakat. Satu diantara sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
            Sikap akomodatif pemerintah Orba ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratifikasi tiga konvensi HAM: konvensi tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984, konvensi anti-apartheid dalam olah raga melaui UU No. 48 tahun 1993, dan konvensi hak anak melalui keppres No. 36 tahun 1990. Namun demikian, sikap akomodatif pemerintah orba terhadap tuntutan HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM oleh negara. Komitmen Orba terhadap pelaksanaan secara murni dan konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat. Masa pemerintahan Orba masih sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang disuarakan oleh kelompok revormis dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Orba.
  1. Periode Paska Orde Baru
            Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Berakhirnya kekuasaan Orba sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung dibawah rezim otoriter orde baru. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh BJ. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil Presiden RI. Tuntutan para tokoh revormasi dan mahasiswa akan pergantian kekuasaan otoriter Orba dengan kekuasaan yang berlangsung secara demokratis dan tuntutan penegakan HAM menjadi era ini dikenal dengan sebutan Era Revormasi.
            Pada masa pemerintahan Habibi, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah era revormasi. Keseriusan pemerintah Presiden BJ. Habibi dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, beberapa bentuk HAM dalam UU ini yaitu: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.
            Adapun Hak Asasi Manusia yang diatur dalam perubahan UUD 1945 terdapat dalam Bab X A diantaranya sebagai berikut:
  1. Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 28 A)
  2. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28 ayat 1)
  3. Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28 B ayat 2)
  4. Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
  5. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (pasal 28 C ayat 1)
  6. Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan pelakuan yang sama didepan hukum (pasal 28 D ayat 1)
  7. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)[6]
  1. Islam dan HAM
            Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Ajaran Islam mengandung unsur-unsur keyakinan (akidah), ritual (ibadah), dan pergaulan sosial (mu’amalat). Dimensi akidah memuat ajaran tentang keimanan, dimensi ibadah memuat ajaran tentang pengabdian manusia terhadap Allah, sedangkan dimensi mu’amalat memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut dengan syariat (fikih), dalam konteks inilah terdapat ajaran tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai agama kemanusiaan islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan oleh Al-qur’an sebagai mahkluk yang sempurna dan harus dimuliakan. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Penghormatan HAM dan bersikap adil terhadap manusia tanpa pandang bulu adalah esensi dari ajaran Islam. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi.
            Adanya penekanan relasi hak individu dengan nilai sosial dalam Islam menunjukkan bahwa Islam mengajarkan bahwa tuntutan hak tetap harus dibarengi dengan pelaksanaan kewajiban dalam rangka melindungi hak orang lain. Menurut Islam, hak dan kewajiban adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, sekalipun Islam melindungi hak seseorang atas kepemilikan properti dan kekayaan, agama ini juga memerintahkan untuk mengeluarkan zakat yang salah satu tujuannya untuk melindungi hak hidup orang miskin. Bahkan didalam Islam disebutkan bahwa dalam harta yang dimiliki oleh seseorang terdapat hak orang lain.
            Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupan melalui ketentuan syari’atnya. Dengan demikian, konsep Islam tantang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Sebagai sebuah konsep pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk. Pandangan ini ditegaskan oleh Harun Nasution dan Bachtiar Effendi sebagai ide peri kemakhlukan dalam Islam. Ide ini mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama mahkluk termasuk juga binatang dan alam sekitar.















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
  1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
  2. Tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban harus berjalan secara seimbang. Hak diperoleh bila kewajiban terkait telah terlaksanakan.
  3. Perkembangan HAM dalam sejarahnya tergantung dinamika model dan sistem pemerintahan yang ada. Dalam model pemerintahan yang otoriter dan represif, perkembangan HAM relatif  mandeg seiring ditutupnya atau dibatasinya peran kebebasan, sedangkan model pemerintahan yang demokratis relatif mendukungupaya penegakan HAM karena terbukanya ruang kebebasan dan partisipasi politik.
  4. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris, atau pandangan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupan melalui ketentuan syari’atnya. Dengan demikian, konsep Islam tantang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Sebagai sebuah konsep pembebasan manusia, konsep tauhid Islam mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk.
Saran



DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: ICCE UIN   Syarif Hidayatullah.
Azra, Azyumardi, dan Hidayat, Komaruddin.2000. Demokrasi dan Hak Asasi       Manusia. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Budiyanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Zubaidi, Achmad dan Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.



 


[1] Budiyanto, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 73.
[2] Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 252.
[3] Azyumardi Azra, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 201.
[4] Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 256.
[5] Azyumardi Azra, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 209.
[6] Achmad Zubaidi, Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Paradigma, 2007), hlm. 104.

dialog konseling (TEKLAB)



DIALOG KONSELING (kartu dialog mata kuliah Teknik Labor Konseling)
Ki  : (Mengetuk pintu, tok...tok...tok...) Assalamu’alaikum.....
Ko : Wa’alaikumsalam... (membuka pintu dan menjabat tangan klien) silahkan
masuk.
Ki  : Terima kasih bu (masuk)    
Ko : Sebelumnya, ananda mau duduk disini atau disitu?
Ki  : Disini saja bu.
Ko : Ya, silahkan....!           (Penerimaan Klien)
Baiklah ananda bagaimana kabarnya sekarang?
Ki  : Sehat bu…
Ko : Ok Alhamdulillah ya.... nah agar lebih akrab, alangkah lebih baik kita
berkenalan terlebih dahulu. Nama ibu Rahmiati, panggil saja ibu Rahmi. Ananda sendiri?
Ki  : Nama saya Na bu.
Ko : Na lebih suka ibu panggil apa?
Ki  : Na aja bu…
Ko : Baiklah Na, apakah Na pernah konseling sebelumnya?
Ki  : Belum bu
Ko : Nah sejauh ini, apa yang Na ketahui tentang konseling?
Ki  : Tidak tahu bu…

Ko : OK, ibu akan menjelaskannya. Konseling itu merupakan dimana terjadi
hubungan tatap muka, antara konselor dan klien. Ibu sendiri adalah sebagai konselor, dan Na sebagai klien. Tujuan diadakannya konseling ini adalah agar bisa mengurangi dan mengatasi apa yang menjadi beban fikiran Na. Dalam konseling ini ibu sangat berharap agar Na mengungkapkan atau menceritakan apa yang Na alami, Na rasakan, atau yang menjadi beban fikiran Na tanpa ada rasa terpaksa dan tanpa ada yang disembunyikan atau ditutup-tutupi. Setelah konseling ini selesai, ibu sangat berharap Na mau mengaplikasikan apa yang Na peroleh dari konseling kita ini. Bagaimana? Ada pertanyaan Na?       (Penstrukturan)
Ki  : Ya bu, apakah semua yang saya ceritakan kepada ibu akan dirahasiakan?
Ko : Ya Na, semua yang Na ungkapkan kepada ibu akan ibu rahasiakan, dan tidak akan ibu ceritakan kepada orang lain tanpa seizin dari Na sendiri, bagaimana Na?
Ki  : Oh begitu, Ya bu
Ko : Sekarang bisakah kita memulai konselingnya?
Ki  : Bisa bu.
Ko : Ok, apa yang bisa kita bicarakan siang ini Na?
Ki  : Begini bu, saat ini saya merasa… sangat galau sekali bu.
Ko : Apa yang terjadi Na?          (PT)
Ki : Saya punya mantan kekasih bu, dimana umurnya sudah terpaut jauh dari saya. Mantan kekasih saya itu sekarang sudah punya istri bu, tapi pernikahannya terjadi bukan atas keinginannya sendiri. Melainkan karena perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya.
Ko : Lalu apa yang mengganggu fikiran Na?    (PT)
Ki  : Dia menyatakan kalau dia masih sayang sama saya bu, dan Na sebenarnya juga masih sayang sama dia. Tapi Na sudah berusaha untuk melupakannya, namun sampai sekarang Na masih terganggu dengan perlakuannya itu loh bu?
Ko : Apa Na menanggapi pernyataannya tersebut?   (PT)
Ki : Iya bu, dia kan masih suka sms atau telfon Na. Ya seperti tidak ada kejadian apapun, padahal dia sudah mempunyai istri. Dia masih sering menanyakan tentang kabar Na, terus dia kadang sms “sudah makan atau belum” dan masih banyak lagi yang lainnya bu.
Ko : Apa Na nyaman dengan kondisi seperti ini?
Ki : Tidak bu, malahan Na sangat merasa takut dengan keadaan ini . Na khawatir, kalau ada orang lain yang tahu kalau dia masih sering sms dan telfon Na. Bisa-bisa masalah besar akan timbul dengan kejadian seperti ini.
Ko : Sekarang Na inginnya seperti apa? (PT)
Ki  : Na sekarangkan masih kuliah bu, jadi masa depan Na itu masih panjang. Na ingin dia tidak mengganggu Na lagi. Na ingin hidup tenang dan Na juga ingin membuka hati lagi untuk orang lain selain dia. Dan yang paling penting Na ingin melupakannya bu.
Ko  : Nah, sampai sekarang apa yang Na lakukan untuk mewujudkan itu semua?
Ki  : Kalau misalnya dia sms Na, Na coba untuk tidak membalas sms nya. Kalau dia menelfon Na, Na cuekin saja bu. Intinya Na tidak merespon sms dan telfonnya bu.
Ko  : Bagaimana tanggapannya atas sikap Na tersebut?
Ki  : Dia bilang “kenapa telfon bang tidak diangkat, sms juga tidak dibalas?”.
Terus Na bilang “kenapa kok masih menghubungi Na, abang kan sudah punya istri”.
Ko : Terus…
Ki : Terus dia bilang “apa salahnya abang menghubungi adik abang?”, kemudian Na jawab “iya memang, tapi Na takut nanti istri abang marah. Sekarang jangan hubungi Na lagi dan jangan pernah mengganggu hidup Na lagi karena sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi”. Terus dia jawab “Kalaupun abang tidak bisa menjadi pacar Na, abangkan bisa menganggap Na sebagai adik abang sendiri”.
Ko : Bagaimana Na menanggapi pernyataan mantan Na itu?
Ki : Kalau dia menganggap Na sebagai adiknya sendiri, ya tidak apa-apa bu. Tapi perlakuannya terhadap Na melebihi perlakuannya terhadap adiknya sendiri, dan itu sangat jauh berbeda. Dan yang Na takutkan bu, nanti ada yang tau akan sikapnya seperti itu.
Ko : Na merasa tidak nyaman dengan perlakuannya itu? (Mengenali Perasaan)
Ki  : Ya bu, Na merasa risih jadihnya bu.
Ko : Apa Na sudah pernah mengatakan ketidak senangan Na tersebut
kepadanya?
Ki : Sudah bu, tapi dia tetap menghubungi Na. Responnya hanya “abang mengerti apa yang adik rasakan”, terus Na jawab “Kalau abang mengerti, tolong jangan pernah hubungi Na lagi”, terus dia jawab “baiklah kalau itu maunya adek, abang akan lakukan”. Tapi kenyataannya dia masih menghubungi Na. Kalau Na pergi bermain dengan teman-teman, dia selalu banyak tanya “pergi kemana? sama siapa? Pulangnya jangan lama-lama nanti sakit, abangkan juga khawatir”. Na sangat tidak senang caranya seperti itu.
Ko : Na tidak suka dengan sikap mantan Na yang berlebihan seperti itu? (Refleksi)
Ki  : Ya bu, Na sangat tidak suka. Apalagi diatur-atur seperti itu, tapi bu kalau Na lagi kesepian atau suntuk, sedikit-sedikit Na juga butuh perhatian dari dia bu. Kalau dia tidak sms atau telfon, na merasa ada hal yang mengganjal.
Ko : Na mengatakan ingin melupakannya, di sisi lain Na masih membutuhkan perhatian darinya, bagaimana itu Na?    (Konfrontasi)
Ki  : (Diam)......       (SUDIM)
Ya... gimana ya bu, sebenarnya Na ingin sikap dia itu tidak berlebihan bu. Na maunya dia itu bersikap biasa-biasa saja dan tidak over seperti itu bu.
Ko : Dengan keinginan Na seperti itu, apa mungkin hubungan itu akan membaik?
Ki : Gimana ya bu, Na juga bingung. Sebenarnya Na sangat ingin sekali melupakan mantan Na, karena Na juga kasihan sama istri mantan Na itu bu. Bagaimanapun juga istrinya itu sudah Na anggap sebagai kakak Na sendiri. Na jadi merasa bersalah karena suaminya masih sms dan telfon Na.
Ko : Lalu bagaimana dengan keinginan Na, kalau lagi suntuk Na ingin dia menghubungi Na?
Ki : mmm..... iya sih bu, tapi sebenarnya Na sangat ingin melupakannya bu karena Na tidak mau seperti ini terus. Tapi Na tidak tau bagaimana caranya bu, menurut ibu bagaimana?
Ko : Kalau seperti ini bagaimana Na, Na coba untuk membuka hati pada laki-laki lain agar sedikit demi sedikit Na bisa melupakan mantan Na. (KIRLAIN)
Ki  : Iya juga sih bu, tapi Na agak susah untuk membuka hati pada orang lain bu.
Ko  : Apa usaha yang telah Na lakukan untuk itu?
Ki  : mmmm....... tidak ada sih bu, hanya saja Na masih ingat sama mantan Na. Kalau ada orang yang ingin dekat dengan Na bu, Na kurang respon dengannya.
Ko : Nah dengan cara Na seperti itu, apa mungkin Na bisa melupakan mantan Na?
Ki  : Tidak sih bu, mungkin Na memang harus bisa mencoba untuk membuka dan menerima orang lain untuk menjadi teman dekat Na bu.
Ko : Nah apa yang akan Na lakukan agar Na bisa membuka hati pada orang lain?
Ki : mmmm..... mungkin seperti ini bu, sebelumnya Na kan kurang merespon orang yang ingin dekat dengan Na, jadi Na harus merespon orang yang ingin dekat dengan Na itu bu.
Ko : Merespon bagaimana itu Na?        (Merumuskan Tujuan)
Ki : Ya misalnya dia sms Na atau telfon Na, terus Na balas atau angkat telfonnya. Biasanyakan Na cuekin aja bu tidak ada Na balas.
Ko : Bagus sekali Na (Penguatan), terus apa lagi yang akan Na lakukan?
Ki : Na harus menerima seseorang itu apa adanya bu, bukan ada apanya. Intinya Na harus menerima orang itu bukan hanya dari kelebihannya tapi juga kelemahannya. Misalkan ada sifat yang kurang Na sukai darinya, Na akan mengatakan langsung kepadanya.
Ko : Bagaimana cara Na mengatakan hal itu?
Ki : Misalkan dia suka ngatur-ngatur Na, maka Na akan katakan kalau Na kurang suka diatur-atur, Na kan juga punya kebebasan, gitu bu.
Ko : ok, intinya Na akan membicarakan secara baik-baik dengannya apabila ada hal yang tidak Na sukai, benar begitu Na? (Penafsiran)
Ki   : Ya benar bu.
Ko  : Ok bagus, terus masih ada lagi Na?       (Penguatan)
Ki   : Ya bu, Na akan memberikan perhatian yang baik padanya bu.
Ko  : Bentuk perhatian Na itu seperti apa?
Ki  : Palingan, pagi-pagi Na ditelfon “kamu sudah Shalat apa belum?”, nah kalau dia nanya Na jawab, terus Na juga akan balik nanya.... gitu bu..
Ko  : Ya bagus Na. Na sudah menyebutkan semua hal agar Na bisa membuka hati pada orang lain dan supaya Na bisa melupakan mantan Na. Apa masih ada lagi Na?
Ki   : Sepertinya tidak bu.
Ko : Baiklah Na ibu yakin Na bisa mewujudkan keiginan Na untuk melupakan mantan Na dan membuka hati lagi kepada orang lain.   (GUSRAT)
Ki   : Ya bu, amiiin.....
Ko : Nah setelah kita melakukan konseling ini, apa yang bisa Na simpulkan? (Penyimpulan)
Ki  : Kesimpulannya, Na akan mencoba untuk membuka hati lagi kepada orang yang ingin dekat dengan Na agar Na bisa melupakan mantan Na.
Ko  : Bagus Na, kira-kira kapan Na akan mulai melakukan hal-hal yang telah kita bicarakan ini?  (Merumuskan Kontrak)
Ki   : Segera bu, kalo dia sms atau telfon.... Na akan respon.
Ko : Bagus sekali Na, dan kira-kira kapan kita akan membicarakan hal ini kembali?
Ki   : Kira-kira lima hari lagi lah bu, berarti hari jum’at.
Ko  : Ok,dimana kita bisa membicarakannya?
Ki   : Diruangan ini saja bu.
Ko  : Jam berapa itu Na?
Ki   : Sekitar pukul 10 han lah bu.
Ko  : Baiklah ibu akan tunggu Na diruangan ini pada hari kamis pukul 10.
Ki   : Ya bu.
Ko : Baiklah Na, sekarang apa yang menjadi prinsip utama Na dalam       menyelesaikan permasalahan Na?      (Penilaian)
Ki  : Yang menjadi prinsip Na bu, untuk melupakan mantan itu bisa dengan cara membina hubungan dengan orang lain.
Ko : Bagus.... kemudian setelah kita melakukan konseling ini pengetahuan baru apa yang dapatkan?
Ki  : Laki-laki didunia ini tidak satu bu, jadi untuk apa kita masih mengharapkan mantan kita yang sudah menjadi milik orang lain.
Ko  : Ok Na, setelah ini apa yang akan Na lakukan?
Ki   : Pastinya Na akan mencoba menjalin hubungan dengan orang lain bu.
Ko  : Bagus sekali Na. Nah sekarang bagaimana perasaan Na?
Ki   : Alhamdulillah sudah agak sedikit lega bu.
Ko : Bagus ya, kemudian seberapa besar keinginan Na untuk menyelesaikan permasalahan Na?
Ki  : kalau keinginan.... sangat besar bu karena ini menyangkut masa depan.
Ko : Ok, kalau misalkan kita persentasekan kira-kira keinginan Na itu berapa persen?
Ki  : 100 % bu
Ko  : Ya bagus sekali itu Na.
Ibu do’akan agar semua yang menjadi beban fikiran Na segera terselesaikan Amiiinn...., dan ibu sangat yakin Na bisa mengatasi semua ini, karena tidak ada permasalahan yang tidak ada jalan keluarnya kalau kita selalu berusaha. Apabila ada hal yang ingin Na ceritakan kepada ibu, Insya Allah ibu siap membantu Na (berdiri, bersalaman) semoga apa yang Na inginkan bisa segera terwujud.    (Mengakhiri Konseling)
Ki  : Amiiiinn..... makasih bu.
Ko : (menghantar menuju pintu) hati-hati dijalan Na!
Ki  : OK bu.