Senin, 09 September 2013

Makalah tentang THAHARAH



MAKALAH
THAHARAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah
Bimbingan dan Praktek Ibadah

LOGO STAIN.jpg
OLEH
RAHMIATI : 2611.084

DOSEN PEMBIMBING
Nurlizam, M.Ag

JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
2011/2012




KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
            Disetiap desiran aliran darah kita, disetiap tarikan nafas kita, dan disetiap langkah kaki kita, sudah seharusnya kita selalu mengucapkan syukur atas kemudahan dan kenikmatan dalam mencapai tujuan hidup. Begitu pula dengan penulis yang saat ini telah menyelesaikan makalah yang berjudul “Thaharah”.
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing, dan sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dan orang-orang yang membacanya. Disamping itu penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja dan menambah wawasan mengenai “Thaharah”.
            Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang  telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Begitu juga kepada orang-orang yang ada disekitar penulis yang telah memberi masukan untuk kesempurnaan makalah ini.
            Tiada gading yang tak retak, tidak ada sesuatu di dunia ini yang sempurna kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Oleh karena itu jika ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, kiranya dengan segala kemurahan dan kerendahan hati penulis meminta maaf.
                                                                       
                                                                                    Bukittinggi, 6 September 2012
           

                                                                                                            Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. iii
C. Tujuan.................................................................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN
A. Bersuci................................................................................................................... 1
B. Macam-macam air dan pembagiannya................................................................... 1
C. An-Najash, perihal najis......................................................................................... 5
D. Benda-benda yang tergolong najis......................................................................... 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 9
B. Saran...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
          Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam-macam, seperti sholat, puasa, naik haji, jihad, membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Dan setiap ibadah memiliki syarat-syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat-syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya. Dan contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
          Kualitas pahala ibadah juga dipermasalahkan jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari hadats maupun najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis maupun hadats merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.
B.     Rumusan Masalah
          Dalam makalah ini penulis mengemukakan beberapa masalah diantaranya:
1.    Apa saja yang menjadi permasalahan dalam Thaharah?
2.    Apa saja jenis-jenis air?
3.    Apa saja jenis-jenis najis?
4.    Benda apa saja yang tergolong kepada najis?


C.    Tujuan
          Adapun tujuan penulisan makalah ini, disamping untuk memenuhi tugas terstruktur dalam mata kuliah Bimbingan Ibadah, juga memberi wawasan tentang:
1.    Bersuci
2.    Macam-macam air dan pembagiannya
3.    Perihal najis
4.    Benda yang tergolong kepada najis

















BAB II
PEMBAHASAN
A.       Bersuci
          Dalam hukum Islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.[1]
Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah: 222
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:
a.    Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.
b.    Kaifiat (cara) bersuci.
c.    Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d.   Benda yang wajib disucikan.
e.    Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

B.       Macam-macam air dan pembagiannya
1.    Air Mutlak[2]
Hukumnya ialah bahwa air suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Air ini diantaranya:
a.    Air hujan, salju, es dan air embun. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: (al-anfal: 11)
øãAÍit\ãƒur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ÏmÎ/
Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu
b.    Air laut: “Dari Abu Hurairah r.a. telah bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, katanya: Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhu, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Berkatalah Rasulullah saw: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal dimakan”.
c.    Air telaga, karena apa yang diriwiyatkan dari Ali r.a, yang artinya bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk.
d.   Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut galibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak ialah tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Ta’ala dalam Q.S  Al-Maidah: 6
öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù 
Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah kamu!”.

2.    Air Musta’mal: yang terpakai[3]
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota orang yang berwudhu dan mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkan dari kesucian itu.
Juga karena hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara berwudhu Rasulullah Saw, katanya: “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhu yang terdapat pada kedua tangannya.”
3.    Air yang bercampur dengan barang yang suci[4]
Misalnya dengan sabun, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak menyucikan bagi lainnya.
Diterima dari ummu ‘Athiyah, katanya: “Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah SAW. ketika wafat putrinya Zainab, lalu berkata “Mandikanlah ia tiga atau empat kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurkanlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah padaku”. Maka setelah selesai, kami sampaikan kepada Nabi. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta berkata ‘Balutkanlah pada rambutnya’! Maksudnya kainnya itu”. (H.R. Jama’ah)
Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’, bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung.
4.    Air yang bernajis
Pada macam air ini terdapat dua keadaan:
Pertama: bila najis itu mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.
Kedua: bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu di antara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya ia adalah suci dan menyucikan, biar sedikit atau banyak.
Alasannya ialah hadits Abu Hurairah r.a., katanya: “Seorang Badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw: Biarkanlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba atau seember air! Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keentengan, bukan untuk menyukarkan”. (H.R. Jama’ah kecuali Muslim)
5.    Air dua qulah[5]
     Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedangkan mazhab yang lain,  berpendapat: Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.
Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan banyak itu adalah dua qulah, seperti yang disebutkan oleh hadits:
Apabila air sampai dua qullah, maka ia tidak najis”. Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: yang disebut banyak itu jika sampai satu karra, sebagaimana hadits: “Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis.”
Satu karra sama dengan 1200 kati Iraq. Kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.
Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah atau karra, dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadits:
Air itu pada dasarnya suci. Ia tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah warna, rasa, dan baunya”.
6.    Air mengalir dan Air tenang[6]
Mazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi berkata: Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana dan air bersih dalam bejana lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh ke bawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan diatas bumi.
7.    Air menyucikan najis
Apabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syafi’I berpendapat: Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, dan jika air itu dipisahkan tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengundang najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah,  maka air tersebut suci dan menyucikan.

C.       An-Najash, Perihal Najis[7]
          Najis ialah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikan diri daripadanya dan menyucikan apa yang dikenainya. Firman Allah Ta’ala dalam Q.S Al-Muddatsir: 4:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ  
Mengenai pakaianmu, hendaklah kamu bersihkan
Dan firman-Nya: (Al-Baqarah:222)
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Dalam hal ini, ada beberapa pembahasan, kita sebutkan sebagai berikut:
          Najis terbagi menjadi tiga, yakni:
1.    Najis mughallazhah (berat), yaitu najis anjing, babi dan keturunannya atau yang dihasilkan dari salah satunya. Cara menyucikannya wajib dibasuh tujuh kali dan satu kali diantaranya dicampur dengan tanah.
2.    Najis mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan makanan selain susu. Cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena kencing. Berbeda dengan cara menyucikan kencing anak perempuan atau bayi yang belum makan makanan selain susu. Cara meyucikannya sama dengan kencingnya orang dewasa, yaitu membasuh dan mengaliri air diatas benda yang terkena najis.
3.    Najis mutawassithah (sedang), yaitu seperti air kencing, tinja (kotoran manusia), dan darah. Cara menyucikannya wajib dengan membasuhnya satu kali dan sunnah tiga kali basuhan. Najis mutawassithah sendiri terbagi menjadi dua,yaitu :
a.       Najis hukmiah, yaitu najis yang tidak diketahui rasa, warna dan baunya. Cara menyucikannya cukup dengan dibasuh dengan air.
b.      Najis ainiah, yaitu najis yang diketahui rasa, warna dan baunya. Cara menyucikannya wajib dengan menghilangkan benda najisnya kemudian dibasuh dengan air.
Benda-benda yang tergolong najis, diantaranya:
1.    Bangkai: ialah yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqib al-Latsi: Artinya: “Telah bersabda Rasulullah saw: ‘Apa yang dipotong dari binatang ternak,sedang ia msih hidup, adalah bangkai”. Dikecualikan dari itu:
a.    Bangkai ikan dan belalang, maka dia suci.
b.    Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir.
c.    Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku, dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najis.
2.    Darah: baik ia darah yang mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haid. Adapun darah nyamuk dan yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar.
3.    Daging Babi: firman Allah SWT dalam Q.S Al-An’am ayat 145:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í
 Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena itu adalah najis”.
Maksudnya karena semua itu adalah menjijikkan yang tak disukai oleh selera yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada tiga jenis tersebut. Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit.
4.    5 dan 6. Muntah, Kencing dan Kotoran Manusia
Najisnya semua ini disepakati oleh bersama, hanya kalau muntah itu sedikit dimaafkan. Begitupun diberi keringanan terhadap kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka cukup untuk menyucikannya dengan jalan memercikkannya dengan air. Kemudian memerciki itu hanya cukup, selama bayi tidak memperoleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan maka tidak ada pertikaian tentang wajib mencucinya. Keringanan dengan cukup dipercikkan itu disebabkan karena gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqqah atau sulit untuk mencucinya, diberi keringanan dengan cara tersebut.
7.    Wadi: Yaitu air putih kental yang keluar mengiri kencing. Ia adalah najis tanpa pertikaian. Berkata Aisyah ra: “ adapun wadi adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudu’ dan tidak usah mandi”.
8.    Madzi: Yakni air putih yang bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, hanya bila ia menimpa badan wajib dicuci, dan jika mengenai kain cukup dengan memercikkannya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering mengenai pakaian pemuda-pemuda sehat, sehingga mendapat keringanan.
9.    Mani: Yakni cairan kental yang keluar akibat kuatnya dorangan syahwat[8]
10.          Kencing dan Tahi Binatang yang tidak dimakan dagingnya
Menurut hadis Ibnu Mas’ud keduanya adalah najis, “Nabi SAW hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilnya tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah batu dan kucari satu lagi, tidak ketemu. Maka ku ambillah tahi kering lalu kuberikan padanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya. Katanya: “ ini najis”. (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Khuzaimah)        
11.          Binatang Jalalah: yang dimaksud dengan binatang jalalah adalah binatang-binatang yang memakan kotoran baik berupa unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain sampai baunya berubah. Tetapi jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik, dan nama jalalah tadi jadi hilang dari dirinya, maka halal karena illat atau alasan dilarang ialah karena berubah, sedang sekarang tiada perubahan lagi.
12.          Khamar yakni arak: bagi jumhur ulama ia adalah najis karena firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah ayat 90.
$yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$#
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan.
13.          Anjing: ia adalah najis dan wajib mencuci apa yang dijiladnya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah berdasarkan hadis Abu Hurairah ra berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “menyucikan bejanamu yang dijilad oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Baihaqi). Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat ia adalah suci, dan tidak ada alasan yang mengatakan ia najis.           


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
          Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci memperoleh tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum ditetapkan oleh syara dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir maupun batin.
Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:
a.    Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.
b.    Kaifiat (cara) bersuci.
c.    Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d.   Benda yang wajib disucikan.
e.    Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
Najis terbagi menjadi tiga, yakni:
1.    Najis mughallazhah (berat), yaitu najis anjing, babi dan keturunannya atau yang dihasilkan dari salah satunya. Cara menyucikannya wajib dibasuh tujuh kali dan satu kali diantaranya dicampur dengan tanah.
2.    Najis mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan makanan selain susu. Cara menyucikannya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena kencing. Berbeda dengan cara menyucikan kencing anak perempuan atau bayi yang belum makan makanan selain susu. Cara meyucikannya sama dengan kencingnya orang dewasa, yaitu membasuh dan mengaliri air diatas benda yang terkena najis.
3.    Najis mutawassithah (sedang), yaitu seperti air kencing, tinja (kotoran manusia), dan darah. Cara menyucikannya wajib dengan membasuhnya satu kali dan sunnah tiga kali basuhan.


B.       Saran
          Dalam penulisan makalah ini kami telah berusaha menyelesaikannya dengan sebaik  mungkin, namun kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah Bimbingan dan Praktek Ibadah dan umumnya kepada rekan mahasiswa.

















DAFTAR PUSTAKA
Jawad Mughniyah, Muhammad.2000. Fiqih Lima Mazhab. PT.Lentera Basritama:     Beirut.
Rasjid, Sulaiman. 2005. Fiqh Islam. Sinar Baru Algensindo: Bandung.
Sabiq, Sayyid. 1973. Fiqh Sunnah. PT Alma’arif: Bandung.
Sarwat, Ahmad. 2009. Fiqh Praktis Akhwat. Tauhid Media Center: Depok.



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. (Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 2005). Hlm: 13
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Bandung: PT.Alma’arif, 1973). Hlm: 29

[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.  (Bandung: PT.Alma’arif, 1973). Hlm: 31
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Bandung: PT.Alma’arif, 1973). Hlm: 32
[5] Muhammad Jawad Mughniyah,  Fiqih Lima Mazhab. (Beirut: PT.Lentera Basritama, 2000). Hlm: 6
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab. (Beirut: PT.Lentera Basritama, 2000). Hlm: 8
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Bandung: PT.Alma’arif, 1973). Hlm: 41
[8] Ahmad Sarwat, Fiqh Praktis Akhwat. (Depok: Tauhid Media Center, 2009). Hlm: 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar